Jadi ceritanya, kemarin saya ngubek-ngubek folder bookworm di laptop buat nyari cerpen buat dikirim ke kak rose (anak BIUS) sebagai syarat biar bisa ikutan seminar dan workshop nulis gitu, ini nih keterangan tentang workshopnya:
Nah, diantara deretan file-file itu nemu deh beberapa judul cerpen lama yang saya bahkan udah lupa kapan nulisnya. Alhasil nemu deh satu cerpen yang kayaknya layak buat dikirim diantara cerpen-cerpen sampah yang lain hehehe...
*Tapi jangan tanya ya tentang riwayat cerpen ini, soalnya masa lalu banget nih :p bikinnya aja pas masih jaman SMA masih cupu gitu (padahal sekarang tetep cupu)
A -A –A
Aku tak tahu kapan tepatnya
perasaan itu muncul. Perasaan
yang belum pernah aku rasakan. Seingatku, saat itu aku masih
duduk di bangku kelas 2 SMA. Masa indah dimana aku dan teman-teman merasakan
kesenangan dan kebebasan sebagai remaja berusia 17 tahun. Kira-kira
saat itulah aku mulai merasakan sesuatu yang luar biasa itu. Namanya Arief, dia
baik, dia cerdas, dia tampan, dia sempurna di mataku saat itu. Dan satu lagi, dia wangi. Ya, aku suka padanya.
Suka, senang, kagum, semuanya. Orang menyebutnya ”cinta”, tapi aku tidak,
karena aku pun tak tahu apa itu cinta, apa arti cinta yang sesungguhnya. Yang
jelas, kami dekat. Kami semakin dekat selama satu tahun itu. Aku merasa nyaman di dekatnya walaupun hanya sebatas di dalam kelas. Kami saling
memberi contekan saat ulangan, mengerjakan PR bersama di kelas, dan ngobrol saat jam kosong. Ada satu hal yang masih sangat kuingat
darinya. Dia selalu datang ke sekolah pagi-pagi sekali, kemudian dia berdiri di
depan pintu kelas, menungguku datang. Saat aku datang, dia selalu menyambutku
dengan satu senyuman manis, senyum yang memperlihatkan lesung pipinya yang
membuatnya terlihat semakin tampan. Dia tak bicara sepatah kata pun, mungkin
karena malu. Aku pun juga hanya diam tersipu melihatnya. Ya, hanya sebatas itu,
selebihnya kami tidak pernah terlihat bersama di luar kelas.
Semuanya tetap berjalan seperti itu hingga saat
kami kuliah. Aku mulai lelah. Ya
mungkin bosan juga menjalani hubungan ini, tapi tunggu-tunggu, hubungan apa? Kami
bahkan tak pernah menjalani hubungan apapun, sampai aku menyadari bahwa kami
hanya teman. Ya, teman, tidak lebih. Dia hanya pernah mengatakan padaku satu
kali bahwa dia berjanji akan menyatakan perasaanya padaku suatu hari nanti dan
dia memintaku untuk menunggu. Aku terus menunggu dan menunggu, tapi hari itu
tak kunjung datang dan aku lelah menunggu, menunggu janjinya selama
bertahun-tahun, itu sungguh melelahkan, menghadapi sebuah ketidakpastian. Ketidakpastian yang tidak
perlu kuperjuangkan lagi dari seseorang yang tidak kunjung menepati janjinya.
Sungguh, aku tak lagi mengerti jalan pikirannya. Tak ada penjelasan, bahkan
alasan sekalipun darinya.
Tanpa sadar, kami mulai menjauh. Aku selalu menunduk bila bertemu dengannya,
sedikit rasa benci muncul di benakku karena ia tak juga menepati janjinya. Aku merasa dibohongi. Entah dia merasa atau tidak kalau
dia sedikit kubenci, namun dia juga tak lagi menyapaku jika kami berpapasan di
kampus. Mungkin memang dia
sudah lupa akan janjinya, atau mungkin aku yang selama ini telah salah sangka,
salah berharap. Kami
benar-benar menjauh semenjak itu. Semenjak aku menganggapnya pecundang.
Hingga suatu saat ada sosok lain yang datang di kehidupanku dan dia
telah mengubah hidupku. Kami memang telah cukup dekat sejak lama, dia teman
baikku sejak SMP, SMA dan kuliah pun di universitas yang sama. Orang tua kami
juga sudah kenal baik sejak lama. Kami sering bercanda bila bertemu, bahkan
sering sekali saling mengejek dan bersendau gurau. Tapi tak pernah terpikirkan
olehku, dan
aku sama sekali tak menyangka bahwa dia akan melamarku saat kami wisuda. Ya,
dia melamarku. Adi memintaku untuk menjadi istrinya. Dan entah apa yang ada di
pikiranku saat itu, yang jelas aku sangat tersanjung waktu itu karena dia
melamarku di hadapan semua wisudawan dan wisudawati satu angkatan kami. Aku
sungguh merasa dihargai saat itu bahwa ada seorang lelaki yang melakukan hal yang
sangat berani itu untukku, sehingga aku pun menerimanya. Setahun kemudian, saat
dia sudah diangkat menjadi manager di salah satu perusahaan swasta ternama di
kota, kami menikah.
Hari-hari kami bahagia selama itu. Dia menjadi imamku yang sangat baik. Dia juga telah sangat membahagiakanku. Namun, empat tahun setelah pernikahan, kami bertengkar hebat. Masalahnya sangat kompleks, mungkin karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Prestasinya memang selalu menanjak di kantor dan dia menjadi tangan kanan direktur sehingga dia sering sekali pulang malam. Kami menjadi sangat jarang berkomunikasi, bicarapun pasti akhirnya hanya akan bertengkar. Satu hal lagi, kami tak kunjung dikaruniai buah hati. Mungkin itulah yang menjadi beberapa faktor penyebabnya. Kami selau cek-cok dalam berbagai hal dan tidak bisa bersatu lagi. Walaupun kami masih saling menyayangi, tapi kami memutuskan untuk berpisah daripada kami sama-sama semakin tersakiti. Kami bercerai, aku janda. Aku hancur saat itu, sakit hati, merasa tercampakkan, terpuruk dan lemah. Awalnya aku menyesali semuanya, menyesal mengapa kami begitu cepat memutuskan untuk menikah dan begitu cepat pula bercerai. Aku bahkan sempat meminta Adi untuk rujuk kembali karena aku sudah sangat putus asa, tapi dia tetap tidak mau dengan alasan tidak ingin menyakiti aku lagi jika dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dia juga mengatakan bahwa pernikahan hanya akan menghambat karirnya. Saat itulah baru aku mengetahui bagaimana rasanya ditolak, sakit dan sangat rendah. Namun lambat laun aku mulai bangun. Aku tak bisa terus-terusan terpuruk. Aku menjalani kehidupanku lagi walaupun sulit, walaupun aku sudah lupa bagaimana rasanya menjalani hidup sendiri.
Hari-hari kami bahagia selama itu. Dia menjadi imamku yang sangat baik. Dia juga telah sangat membahagiakanku. Namun, empat tahun setelah pernikahan, kami bertengkar hebat. Masalahnya sangat kompleks, mungkin karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Prestasinya memang selalu menanjak di kantor dan dia menjadi tangan kanan direktur sehingga dia sering sekali pulang malam. Kami menjadi sangat jarang berkomunikasi, bicarapun pasti akhirnya hanya akan bertengkar. Satu hal lagi, kami tak kunjung dikaruniai buah hati. Mungkin itulah yang menjadi beberapa faktor penyebabnya. Kami selau cek-cok dalam berbagai hal dan tidak bisa bersatu lagi. Walaupun kami masih saling menyayangi, tapi kami memutuskan untuk berpisah daripada kami sama-sama semakin tersakiti. Kami bercerai, aku janda. Aku hancur saat itu, sakit hati, merasa tercampakkan, terpuruk dan lemah. Awalnya aku menyesali semuanya, menyesal mengapa kami begitu cepat memutuskan untuk menikah dan begitu cepat pula bercerai. Aku bahkan sempat meminta Adi untuk rujuk kembali karena aku sudah sangat putus asa, tapi dia tetap tidak mau dengan alasan tidak ingin menyakiti aku lagi jika dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dia juga mengatakan bahwa pernikahan hanya akan menghambat karirnya. Saat itulah baru aku mengetahui bagaimana rasanya ditolak, sakit dan sangat rendah. Namun lambat laun aku mulai bangun. Aku tak bisa terus-terusan terpuruk. Aku menjalani kehidupanku lagi walaupun sulit, walaupun aku sudah lupa bagaimana rasanya menjalani hidup sendiri.
Hingga hari ini aku
masih belum sepenuhnya mempercayai apa yang telah terjadi di kehidupanku.
Apalagi saat ini, saat aku berada di tengah-tengah keramaian orang yang
bersenang-senang. Mereka, orang-orang yang dua belas tahun yang lalu menjadi teman sekolahku. Aku duduk bersama mereka di acara reuni SMA
malam ini. Awalnya aku enggan datang. Alasan utamanya
adalah aku takut bertemu Adi dan masa lalu kami. Tapi teman-temanku yang lain
memaksa agar aku ikut. Akhirnya aku pun datang. Dan disinilah aku sekarang,
duduk termenung sembari mendengarkan obrolan teman-temanku. Kami bercanda,
saling bertukar cerita dan pengalaman. Sebagian besar dari mereka hidupnya
telah berubah, termasuk aku. Namun beberapa diantara mereka tidak tahu bahwa
aku sudah menjadi seorang janda, mereka mengasihani aku, mungkin aku terlihat
sangat menyedihkan malam itu. Namun selebihnya, aku menyukai pesta reuni itu,
bagiku cukup menyenangkan, setidaknya aku tidak bertemu Adi. Saat mengingat
namanya aku kembali terdiam.Walaupun sudah setahun
yang lalu kami berpisah, rasa perih itu masi melekat di dadaku, apalagi jika
mendapati bahwa aku tak lagi dapat memilikinya bahkan saat ini melihatnya pun
aku tidak. Pikiranku sudah melayang entah kemana sekarang, bayangan-bayangan
masa lalu selalu melintas dengan cepat bak kereta ekspres yang gerbongnya sangat
panjang dan tak kian sampai di stasiun. Mata,
telinga, pikiran dan hatiku sedang tak berjalan seiring saat ini, otakku tak
lagi mampu mengkoordinasi dengan baik.Aku terdiam.
” Selamat malam, Aini...
” Suara itu yang tiba-tiba menghentikan kereta ekspres yang melintas di
angan-anganku. Membuyarkan bayangan masa laluku. Mengagetkan namun terdengar
sangat menentramkan jiwa. Suara itu, suara yang sangat lembut, merdu dan sudah
lama kurindukan. Suara A...
Solo, 15 October 2009
Hesti Nuraini
Hesti Nuraini