Essay for Musikal Laskar Pelangi

Tema : Fighting for A Better Future Through Education

Cita-cita dan Realita
Gadis kecil yang sejak taman kanak-kanak selalu jadi juara kelas itu  sudah punya impian sedari dulu. Layaknya anak kecil lain yang sering di tes tetangga dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti “Siapa namamu?” “Siapa orangtuamu?” atau “Kalau besar nanti mau jadi apa?”, ia selalu menjawab tanpa ragu, “Hesti kalo udah gede mau jadi dokter.” Tapi apakah semua impian anak di masa kanak-kanak selalu terwujud? Realistis saja, jawabannya memang tidak. Ya, saya lah anak itu lebih dari tiga belas tahun yang lalu. Dokter selalu jadi cita-cita yang sangat ideal bagi anak-anak, dan juga orangtua mereka, termasuk saya waktu itu. Cita-cita itu tak lepas dari orangtua saya yang tak hentinya tiap hari mengingatkan saya, “Nduk, belajar yang rajin ya, biar pinter, rangking satu, biar bisa jadi dokter.”
Gadis itu beranjak dewasa. Dunia tak lagi semudah seperti masa-masa indahnya di taman kanak-kanak. Menginjak bangku sekolah menengah pertama, ia mulai mempertanyakan cita-citanya. Dokter? Apakah itu yang benar-benar yang ia inginkan? Melihat darah saja ia tak tahan. Tapi apa mau di kata, ia masih memegang erat pesan dari orang tuanya. Belajar yang rajin. Biar pinter. Rangking satu. Jadi dokter. Kata-kata itu yang selalu menjadi motivasinya untuk terus belajar alih-alih berbakti pada orangtua. Walaupun ia mulai menyadari ia lebih suka pelajaran fisika daripada biologi. Walaupun ia mewakili sekolah dalam olimpiade matematika, bukan biologi.
Waktu terus bergulir. Dunia terus berputar. Nasib orang tak ada yang tahu. Gadis itu telah duduk di bangku sekolah menengah atas. Dan saat itu giliran orangtuanya yang mulai mempertanyakan cita-cita itu. Dokter? Apakah bisa mereka mempunyai putri seorang dokter? Apakah mereka mampu “membeli” gelar itu? Apakah mereka mampu? Dulu mungkin mereka tidak memikirkan hal ini, yang mereka tahu gelar dokter itu dapat merubah kehidupan mereka ke jenjang yang lebih baik. Saat pada akhirnya mereka dihadapkan pada titik ini. Titik dimana keinginan dan kenyataan tak lagi sejalan. Harapan dan realita memang kadang bertolak belakang. Hampir semua orang tahu betapa sulitnya masuk sekolah kedokteran saat ini. Bukan karena masalah akademik, tapi masalah finansial yang lebih berpengaruh. Sampai pada akhirnya justru orangtuanya-lah yang terlebih dahulu mengubur impian itu. Sudah bisa menyekolahkan putrinya di bangku SMA saja orangtuanya sudah sangat bersyukur. Tapi gadis itu tak mau menyerah. Sudah telanjur ia pegang pesan dari orangtuanya. Kini ia sudah besar, ia sudah bisa menentukan apa yang sebenarnya ia inginkan. Dalam benaknya ia mulai menanamkan keyakinan, Tak harus jadi dokter kan untuk jadi sukses? Tak harus jadi dokter kan untuk memperbaiki kehidupan keluarga? Tak harus jadi dokter kan untuk membahagiakan orang tua? Ya. Tidak harus jadi dokter!
Beruntung ia dapat bersekolah di SMA favorit, ia punya banyak teman yang punya pikiran maju dan guru-guru yang luar biasa. Sosok-sosok itulah yang mendorongnya untuk tetap belajar dan melanjukan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan membuktikan ke orangtuanya bahwa masih ada jalan lain untuk jadi sukses. Pertama, ia telah menentukan bahwa bidang Arsitektur yang akan dia pilih untuk masa depannya, sebenarnya sejak SMP ia sudah memikirkannya tapi memang tidak pernah ada kesempatan untuk mengungkapkannya. Sederhana saja, ia ingin jadi arsitek agar bisa membangun rumah yang lebih baik untuk keluarganya dan kemudian nanti membangun bangsa ini. Langkah selanjutnya, kesana-kemari ia cari informasi mengenai beasiswa masuk perguruan tinggi. Dengan bantuan BK sekolah ia mendaftar ujian masuk jalur beasiswa sebuah institut di Bandung dan jalur biasa sebuah universitas di Yogyakarta.
Dengan modal usaha belajar dan keberaniannya, keluarlah pengumuman itu. Ia diterima dalam program Beasiswa ITB Untuk Semua pada fakultas Sekolah Teknik Elektro dan Informatika. Satu hari kemudian keluar juga pegumuman bahwa ia diterima pula di jurusan Teknik Arsitektur universitas ternama di Yogyakarta itu. Kegundahan sempat melanda dirinya. Dua pilihan itu, antara impian dan realita. Arsitektur adalah cita-citanya, namun lagi-lagi ia dihadapkan pada pertanyaan “Apakah ia mampu? Apakah orang tuanya mampu?” karena itu merupakan jalur biasa dengan biaya yang tidak sedikit. Pada akhirnya ia mengikhlaskan impiannya itu lepas. Dua kali sudah cita-citanya kandas saat dihadapkan pada realita. Tapi ia tak pantang menyerah. Ia justru sangat bersyukur Alhamdulillah Allah masih memberinya jalan di antara berbagai kesulitan yang ada. Lagipula ia sendiri pernah mengatakan bahwa tak harus jadi dokter untuk jadi sukses, berarti tak harus jadi arsitek juga kan untuk jadi sukses?
Akhirnya disinilah gadis itu sekarang. Saya. Hesti Nuraini. Teknik Telekomunikasi, Sekolah Teknik Elektro dan informatika, Institut Teknologi Bandung. Bagi saya kini yang terpenting bukanlah apa cita-citamu tapi seberapa besar usahamu untuk mewujudkan cita-cita itu. Sekarang yang saya miliki bukan hanya sebuah cita-cita, namun sebuah visi sebagai seorang “Agent of Change” yang dapat merubah kehidupan saya sendiri, orang tua, keluarga, lingkungan sekitar, dan Insyaallah bagi bangsa dan negara ini. Dan semua itu tak akan terwujud tanpa adanya pendidikan. Apapun bidangnya percayalah bahwa semua ilmu bermanfaat selama berada di jalan Allah dan akan mengantarkan ke gerbang kesuksesan jika bersungguh-sungguh. 
Jangan sampai kalah pada realita kawan! Walaupun ia sudah mengalahkan cita-citamu namun ia tak boleh mengalahkan semangatmu. "Semangatlah untuk meraih apa yg memberimu manfaat, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah." HR.Muslim"

Bandung, 25 June 2011
Hesti Nurain

This entry was posted on June 25, 2011 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply