"Dan Kau Beruntung Sempat Memilikiku"
Hai Kingkong,
Aku bahkan tak tahu harus mulai darimana. Aku masih terlalu benci padamu, Kingkong. Ya, hanya sapaan itu yang bisa aku katakan. Menanyakan kabarmu pun aku tak sanggup. Tidak ingin tahu kabarmu mungkin lebih tepatnya, karena aku yakin kamu baik-baik saja. Ya, baik-baik saja tanpa aku.
Ini adalah surat kedua yang pernah kukirim padamu. Semoga kau masih ingat surat pertamaku, lebih dari tiga tahun lalu saat kita masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saat kita masih sebatas teman. Terakhir kau bilang, kau masih menyimpan dengan baik “surat cinta” itu, tapi entah sekarang. Semuanya bertolak belakang dengan apa yang ingin kusampaikan saat ini.
Sudah kubilang aku masih benci padamu. Benci pada ke-pengecut-an-mu. Kamu pasti sudah mengerti apa yang aku maksud. Kita sudah sering membahasnya selama hampir tiga tahun hubungan kita. Dan sampai sekarang tak ada yang berubah, semua masih sama, kamu masih pengecut, masih lemah. Dan aku, ehem… aku masih keras kepala. Tapi seberapa pun keras kepalanya aku dan selemah apapun dirimu, tetap saja kamu yang laki-laki dan aku yang perempuan. Perempuan hanya ingin dilindungi, disayangi, dimengerti, dan diakui. Sudah berapa kali kubilang padamu, laki-laki itu harus kuat, harus berani, dan harus tangguh? Sudah berapa kali kesempatan yang aku berikan padamu agar kamu bisa memilikiku? Tapi sudah berapa kali juga kamu mengecewakanku? Pernahkah kamu menghitung?
Kau tahu kenapa aku memanggilmu kingkong?Selain karena badanmu yang besar, aku juga ingin kamu jadi laki-laki yang kuat dan berani. Lelaki yang bisa membuatku merasa aman, membuatku bangga berada disisimu. Seperti yang selalu kulakukan, aku selalu berusaha menjadi perempuan yang terbaik untukmu, agar aku pantas berdiri disampingmu setiap kali kita pergi bersama. Tapi apa? Kamu hanya bisa mengecewakanku. Kamu hanya bisa membuatku marah, membuatku sedih, membuatku benci padamu.
Kau selalu bilang dengan sejuta kata manismu bahwa kau masih sayang padaku, tapi kata kata itu hanya berlalu begitu saja, meluncur dari lidahmu dengan mudahnya. Tanpa arti, tanpa bukti. Sudah berapa kali aku menyebutmu pembohong gara-gara ini? Aku tak tahu apakah artinya kamu memang mengakui bahwa dirimu memang berbohong tapi yang jelas kamu tak pernah membuktikan kata-katamu itu, bahkan untuk sekedar mencoba membuktikan pun tidak. Ya, tidak ada usaha, tidak sedikitpun. Bagaimana bisa aku menghargaimu jika kamu pun tidak berusaha mengerti aku. Jadi tidak berlebihan kan kalau aku menganggapmu hanya bermodalkan mulut manis saja.
Sekarang tak ada lagi yang tersisa, untaian kata manismu sudah terhapuskan oleh hempasan kekecewaan yang kau berikan. Yang tinggal hanyalah rasa sakit dan bibit kebencian yang kau tanam dalam di hati ini. Jika kau membaca surat ini nantinya, aku hanya ingin tau apa yang sebenarnya kau rasakan terhadapku. Tapi tolong jangan lagi bohongi aku. Tiga tahun penuh dusta sudah sangat cukup bagiku.
Mungkin sebenarnya memang akulah yang bersalah. Salah karena terlalu mempercayaimu sejak awal, salah karena begitu terbutakan oleh semua bujuk rayumu dan salah karena selalu memberimu kesempatan yang pada akhirnya semuanya hanyalah sia-sia. Ya, maafkan aku Kingkong, aku yang salah. Yang kau tau itu kan? Aku yang selalu salah dan selalu saja begitu sampai saat terakhir kau meninggalkanku.
Tahukah kamu aku menunggumu? Satu hari setelah kepulanganku dari tanah rantau, dua hari, satu minggu, dua minggu, dan sampai sekarang tahun sudah berganti. Aku sudah mengirimimu pesan singkat sebelum tahun baru, tapi ternyata tak ada balasan. Kau juga tak kunjung muncul di depan pintu rumahku. Tahukah kamu aku menunggumu? Tahukah kamu?! Tahukah kamu betapa susahnya jadi seorang perempuan? Hanya bisa memendam, diam dan berharap. Tahukah kamu, Kingkong? Tahukah kamu?! Aku ragu kamu tahu.
Sekarang semuanya sudah kandas, sudah berlalu. Harapanku, janjimu, semuanya tinggalah kata yang tak punya makna. Keduanya, yang membuat janji dan orang yang mendengarnya, sudah hilang. Hanya ada aku disini, hanya ada kamu disana, tak ada yang lain. Dan sekali lagi aku tegaskan. Aku benci padamu. Tidakkah kau lelah menjadi orang yang kubenci? Tidakkah kau enggan menjadi mantan orang yang kusayangi? Mantan yang pahit. Tidakkah kau lelah, Kingkong?
p.s.: Aku ingin tahu apa pendapatmu. Jadi tolong balas surat ini jika kau tak keberatan. Aku menunggu.
Solo, 5 Januari 2011
Hesti Nuraini